Oleh : Vijae Yehezkiel Simanjuntak, (Dewan Pembina Pengurus Lembaga Kajian Ilmiah dan Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawaraman)
Keindahan kebijakan yang diangan-angankan masyarakat sepertinya sangat sulit untuk terlihat. Dari memulai start yang melangkahi Konstitusi, hingga saat ini pun seperti tidak peduli akan jaminan warga negara.
Dua isu yang menunjukan kecerdikan penguasa untuk mengamankan kekuasaan. Mereka cerdik melihat serta merumuskan kebijakan untuk mengamankan dan memperpanjang kekuasaan. Bagaimana mungkin kita tidak berfikir demikian jikalau tindakan mereka (penguasa) jauh dari kita “pro rakyat”.
Partai Gerindra telah memulai ajakan untuk membentuk koalisi permanen. Koalisi yang justru juga banyak disambut baik oleh partai lain. Bagaimana mungkin, partai yang seharusnya difungsikan sebagai tempat aspirasi rakyat, sekaligus sebagai penyeimbang terhadap pemerintahan, malah justru berkoalisi gemuk.
Probowo Subianto telah dipilih kembali menjadi Ketua Umum Partai Gerindra, bahkan telah diputuskan untuk kembali dicalonkan dalam pilpres 2029. Kacamata mana yang bisa berdalih, bahwa Prabowo sangat ambisius mengamankan kekuasaan untuk periode selanjutnya.
Parahnya lagi, partai seperti senang untuk membuat koalisi permanen. Penyambutan baik tersebut terlihat dari Ketua Umum Patai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskanda (Cak Imin) dan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia yang menyatakan bahwa koalisi permanen bertujuan untuk membentuk stabilitas di dalam pemerintahan.
Yap!, Stabilitas yang terbentuk adalah stabilitas oligarki kekuasaan!. Ada semacam upaya Gerindra untuk mengamankan Pilres 2029. Parpol sebagai tempat pengkaderan seharusnya mampu berpikir untuk saling berkontestasi sehingga mampu memberikan pilihan yang banyak kepada warga negara dalam memilih calon pemimpin.
Ada semacam inkonsistensi para parpol juga, mereka seringkali buka suara untuk menghapuskan Presidential Threshold (PT), namun sekarang PT telah dihapus justru ingin berkoalisi permanen. Ibarat penghalang sudah di hapus, sehingga mereka (parpol) dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Namun malah mereka sendiri yang membangun kembali penghalang tersebut. Kekuasaan yang terus diperjuangkan dengan segala cara oleh Prabowo semakin terus terlihat. Alih alih segera menyelesaikan tanggung jawab sebagai kepala daerah untuk menyelesaikan masalah rakyat, namun seperti terganggu akan kepentingan jabatan yang masih akan diperebutkan kurun waktu 4 tahun lagi.
Ironisnya lagi, beberapa kebijakan presiden yang dikeluarkan justru menuai banyak kritik, salah satunya adalah efisiensi anggaran. Upaya efisien anggaran yang terlampau besar membuat masyarakat mengkritik dengan apa yang dilakukan pemerintah.
Sekitar 327 Triliun yang didapat dari instruksi Presiden untuk efisiensi anggaran, akan diserahkan ke Danantara yang merupakan bagian dari produk BUMN. Menarik dan ironisnya, perubahan ketiga terhadap UU BUMN membuat implikasi yang cukup berbahaya.
Mengapa berbahaya? Perubahan terhadap UU a quo menerapkan Business Judgement Rule (BJR). BJR sendiri adalah perlindungan hukum bagi direktur dan jajarannya dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian sejalan dengan tanggung jawab dan wewenangnya.
Adanya BJR membuat implikasi dalam hal apabila direktur/jajarannya melakukan kesalahan yang berdampak pada kerugian negara. Hadirnya BJR akan membuat, bahwa yang harus dibuktikan apabila terjadi kerugian adalah apakah dalam mengambil keputusan bisnis telah melanggar wewenangnya, sehingga dampak terhadap BJR adalah sulitnya meminta pertanggungjawaban hukum atas kerugian Ironisnya lagi, revisi UU BUMN terdapat klausul yang menyatakan bahwa, kerugian Danantara bukanlah kerugian negara.
Bayangkan saja, dari logika manapun, sepertinya sangat sulit untuk setuju terhadap klausul tersebut. Dana efisiensi yang berasal dari rakyat, dari pajak rakyat, yang jg bersumber dari APBN, lalu diserahkan untuk di investasikan, kemudian apabila terjadi kesalahan atau tindak pidana yang dilakukan sehingga munculnya kerugian tidak bisa dikatakan “kerugian negara”.
Upaya seperti ini, adalah satu bentuk kecerdikan pemerintah dalam merumuskan hukum yang berorientasi pada kepentingan golongan! Kekuasaan yang diperjuangkan, upaya untuk memainkan hukum menunjukkan keserakahan oknum penguasa. Perubahan revisi UU BUMN yang disahkan oleh DPR juga telah membuktikan fungsi balances yang mati terhadap kekuasaan eksekutif. Moralitas yang mati membuat rakyat yang menjadi korban. (*)